Mujiburrahman Al-Banjari
Keseimbangan adalah hukum kosmis. Demikian pernah dikatakan oleh
Nurcholish Madjid (Cak Nur). Alam semesta bergerak teratur dalam keseimbangan.
Tubuh kita juga sehat walafiat jika ada keseimbangan. Misalnya, jika lapar,
kita perlu makan, tetapi tidak boleh berlebihan. Setiap yang berlebihan, akan
merusak keseimbangan sehingga bisa menimbulkan sakit. Masyarakat juga harus
seimbang, tidak boleh ada kesenjangan yang lebar antara yang kaya dan yang
miskin, yang terpelajar dan yang bodoh. Perbedaan dalam masyarakat memang tak
mungkin dihindari, tetapi perbedaan tidak harus berarti kesenjangan. Perbedaan
yang sehat di masayarakat adalah sekadar differensiasi sosial, yakni peran yang
berbeda-beda dalam masyarakat. Perbedaan yang berbahaya adalah ketimpangan,
terutama ketimpangan ekonomi, yang menimbulkan ketidakseimbangan.
Sebagaimana tubuh yang tak seimbang, masyarakat yang timpang adalah
masyarakat yang sakit. Suatu hari, masyarakat itu akan mengalami kekacauan. Cak
Nur merujuk kepada ungkapan Alqur’an dalam surah Arrahman tentang keseimbangan
ini, yaitu al-mîzân yang juga berarti timbangan. Dua daun timbangan
menunjukkan keseimbangan. Cak Nur juga menyebut keseimbangan itu dengan ‘adl,
yakni keadilan. Dalam hal ini, dia mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah, yang
kelak menjadi terkenal di Indonesia, yaitu innallâha sayuqîm
al-dawlah al-’âdilah wa in kânat kâfiratan, wa yuhlik al-dawlah al-zhâlimah wa
inkânat muslimatan (sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang adil,
meskipun non Muslim, dan menghancurkan negara yang zhalim meskipun Muslim).
Dalam pandangan kaum Sufi, sebagaimana ditunjukkan oleh Toshihiko Izutsu,
Sachiko Murata, William Chittickmdan lain-lain,keseimbangan itu merupakan manifestasi
atau tajallî dua
jenis nama-nama
Allah, yaitu jalâl, yang menunjukkan makna maskulin, dan jamâl, yang
menunjukkan makna feminin. Penggabungan jalâl dan jamâl ini melahirkan
kamâl, yakni kesempurnaan. Allah itu Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Menghukum,
Maha Memaksa, Maha Besar dan seterusnya, yang menunjukkan sifat-sifat maskulin.
Di sisi lain, Allah juga Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemaaf
dan seterusnya, yang menunjukkan sifat-sifat feminin. Dua sisi ini hadir dalam alam
semesta (makrokosmos) dan diri
kita (mikrokosmos).
Bahkan kedua sisi itu juga tampak dalam ayat-ayat Alqur’an. Misalnya, ada
kabar surga,
adapula kabar neraka. Ada ayat yang memberi harapan, ada pula ayat yang memberi
ancaman. Jadi tiga realitas: alam, manusia, dan kitab suci, semuanya menunjukkan
kehadiran yang maskulin dan feminin. Hubungan keduanya saling mengisi, bukan saling
menegasi. Mirip dengan hubungan Yin dan Yang dalam simbol Taoisme, yang berbeda
sekaligus bertemu dan saling mengisi. Karena berbeda sekaligus saling mengisi maka
terjadilah keseimbangan yang harmonis.
Implikasi dari keseimbangan maskulin-feminin ini amat luas dan
dalam, menyentuh semua aspek kehidupan. Hubungan manusia dengan manusia,
hubungan lelaki dan wanita, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia
dengan Tuhan. Setiap manusia, lelaki atau perempuan, memiliki potensi sifat
maskulin dan feminin. Bukan hanya pria yang bisa marah, perempuan juga bisa.
Begitu pula, bukan hanya perempuan yang bisa mengasihi, lelaki juga sama. Yang
menjadi masalah di sini bukan apa jenis kelaminnya, tetapi kapan dan bagaimana
menempatkan marah dan kasih itu pada tempatnya. Jika orang tidak punya marah
sedikit jua pun, maka dia tidak akan bisa mempertahankan hidupnya. Sebaliknya,
jika orang tidak punya kasih sedikit jua pun, tak ada orang yang sanggup bersamanya.
Marah pada yang salah, kasih pada yang benar, adalah salah satu bentuk keseimbangan.
Namun, baik marah atau kasih harus dikira kadarnya, jangan sampai berlebihan.
Anak yang selalu dimanja, tidak pernah ditegur atau dimarahi, sama buruknya dengan
anak yang selalu dimarahi. Para filsuf dan sufi kemudian menggali lebih jauh
bahwa
akal itu maskulin, dan nafsu itu feminin. Karena itu,
akal harus dapat mengendalikan nafsu sehingga terjadi keseimbangan, tidak
melampaui batas. Sekali lagi, hal ini berlaku untuk pria ataupun wanita, tanpa
perbedaan. Jika hubungan tersebut dilihat dari perbedaan lelaki dan perempuan,
maka tentu lelaki adalah maskulin, yang menyemaikan bibit, sedangkan perempuan
yang menerima bibit dan menumbuhkannya. Perempuan hamil dan menyusui, sebagai
wujud dari sifat feminin yang melindungi, memelihara dan menyayangi. Namun, di luar
peran biologis ini, sebagaimana telah ditekankan, baik lelaki atau perempuan
memiliki potensi sifat maskulin dan feminin, yang harus dikelola secara
seimbang.
Hubungan manusia dengan Tuhan, juga demikian. Tuhan dengan ilmu,
kehendak, dan kuasaNya menciptakan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan. Tuhan juga
memelihara, menumbuhkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya di muka bumi. Manusia diberi-Nya
kebebasan moral untuk memilih jalan hidup, yang baik atau buruk. Manusia juga diberi
kebebasan menentukan berbagai keputusan dalam hidupnya. Namun, kebebasan itu juga
terbatas, karena manusia sendiri adalah makhluk yang terbatas. Manusia dianugerahi
akal dan indera yang dapat menyerap dan mengembangkan ilmu. Dengan ilmu, manusia
dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidupnya. Semua ini adalah perwujudan rahmat
sekaligus kuasa Tuhan, jamâl dan jalâl-Nya. Agar hidupnya seimbang,
manusia harus ingat kepada sifat feminin dan maskulin ini. Ketika ingin berbuat
jahat, manusia harus ingat pada Tuhan yang maskulin, yang dapat menghukumnya. Namun,
ketika dalam kesulitan hidup, manusia harus ingat akan kasih sayang-Nya, Tuhan yang
feminin. Perlu juga ditegaskan bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya, dan bahwa
rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Karena itu, mungkin tidak salah jika dikatakan,
dalam sifat maskulin-Nya terkandung feminin-Nya. Menarik bahwa Nabi bersabda, “Aku
menyukai tiga hal: minyak harum, perempuan dan salat.” Kata Fritjhof Schuon, minyak
harum atau parfum, sama dengan musik, adalah simbol keindahan tanpa bentuk. Sedangkan
perempuan adalah simbol keindahan yang berbentuk. Salat menghubungkan manusia dengan
sumber dua jenis keindahan itu. Disini tergambar bahwa Tuhan disukai karena sifat
feminin-Nya, keindahanNya. Di sisi lain, salat juga bisa membawa manusia kepada
pengalaman akan sifat maskulinNya, atau sifat feminin dan maskulin sekaligus. Mungkin
inilah yang digambarkan oleh Rodulf Otto, pengalaman keagamaan itu misterium, tremendum dan fascinan.
Hubungan manusia dengan alam juga menuntut keseimbangan jalâl
dan jamâl. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Manusia hanya bisa
bertahan dengan mengonsumsi kekayaan alam seperti makan, minum dan menghirup
udara. Manusia dianugerahi Allah kemampuan untuk menundukkan alam (taskhîr),
guna kepentingan hidupnya. Inilah sifat maskulin manusia dalam hubungannya
dengan alam. Namun, manusia tidak hanya bisa mengonsumsi, tetapi juga menanam,
memelihara dan memproduksi. Manusia juga bisa menata alam, sehinga teratur
indah dan rapi. Semua itu bisa dilakukannya karena manusia memiliki akal dan
indera yang dapat digunakannya untuk mempelajari dan mengkaji alam. Dengan
penghayatan estetisnya, manusia pun dapat mencintai alam. Alam menjadi sumber inspirasi
pikiran dan perasaannya. Di sini kita bertemu dengan dimensi feminin manusia dalam
hubungannya dengan alam. Bagi kaum beriman, alam-lah yang menuntun manusia kepada
Tuhan. Tuhan itu misterius, tetapi alam adalah tanda-tanda kehadiran-Nya. Bagi
manusia religius, alam bukanlah wujud yang berdiri sendiri, tetapi wujud yang
tergantung pada Tuhan yang mewujudkan-Nya. Karena itu, alam memiliki
sakralitas, kesucian dan keagungan karena alam adalah penampakan tanda-tanda
kehadiran dari Yang Maha Sakral.
Dengan demikian, sifat maskulin manusia yang menguasai dan
mengonsumsi alam, harus dipagari oleh sifat femininnya yang memelihara dan
mencintai alam karena wujud alam adalah sakral. Dalam kepercayaan agama, siapa
yang merusak atau meremehkan yang sakral, maka dia akan menerima kutukan.
Ketika manusia menghancurkan alam, maka alam akan berbalik menghancurkan
manusia. “Telah tampak kerusakan di laut dan di darat akibat perbuatan
tangan-tangan manusia, agar Allah merasakan akibat sebagian dari apa yang telah
mereka kerjakan,” kata Alqur’an. Sakralitas alam tidak hanya berdimensi
spiritual, tetapi juga rasional dan empiris. Sakralitas itu tampak dalam
keteraturan alam, yang bergerak secara harmonis berdasarkan hukum alam. Hukum
alam adalah kehendak Tuhan. Manusia tidak bisa menciptakan hukum alam. Manusia
hanya dapat tunduk kepada hukum alam itu, dan menggunakannya untuk kepentingan
hidupnya. Cara kerja hukum alam dan tali-temali rumit unsur-unsur alam dapat
dipelajari oleh manusia. Semua ini akhirnya melahirkan ilmu, yang berfungsi
menjelaskan, meramalkan dan dalam batas tertentu mengendalikan alam. Manusia
merusak alam, menghancurkan flora dan fauna, antara lain karena tidak mau
mengikuti petunjuk ilmu, yang sudah memperingatkannya akan berbagai bahaya akibat
perbuatan manusia itu. Melawan petunjuk ilmu berarti melawan kehendak Tuhan
yang tercermin dalam hukum alam. Kehendak Tuhan, bagaimanapun, adalah sakral. Memang,
ada pula manusia yang merusak alam semata karena kebodohan. “Ketika dikatakan
pada mereka, jangan kalian berbuat kerusakan di muka bumi, mereka berkata, ‘sesungguhnya
kami berbuat kemaslahatan’. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu adalah para
pembuat kerusakan, tetapi mereka tidak mengetahui."
Mengapa pengetahuan atau kebodohan, kedua-duanya dapat menjadi
sebab di balik tindakan manusia merusak alam? Karena sebab utamanya adalah hawa
nafsu, keinginan-keinginan rendah dan jangka pendek manusia serta keserakahannya
yang nyaris tanpa batas. Ilmu dan teknologi yang seharusnya berguna untuk kesejahteraan
hidup umat manusia, justru berbalik menjadi senjata makan tuan, akibat keinginan
jangka pendek dan keserakahan. Bumi digali, gunung dipangkas, laut dikuras dan
sampah berbahaya diproduksi tanpa henti, karena hawa nafsu itu. Nafsu memang bagian
penting dari eksistensi manusia di dunia ini. Tanpa nafsu, manusia tidak akan
bisa bertahan hidup. Namun, jika mengikuti nafsu saja, hidup manusia juga akan
hancur. Bagi kaum Sufi, nafsu itu ibarat kendaraan seperti kuda. Ia harus
dipelihara dan dijaga kesehatannya, agar bisa dikendarai membantu manusia
menempuh perjalanan menuju tujuan. Karena itu, nafsu harus dapat dikendalikan oleh
akal berdasarkan ilmu dan hikmah (kebijaksanaan). Dalam tatanan masyarakat,
nafsu itu harus dikendalikan melalui peraturan dan hukum, yang wajib ditegakkan
oleh penguasa yang adil. Di sini, kita bertemu dengan akal dan penguasa yang
maskulin, mengendalikan nafsu yang feminin. Seperti sudah ditegaskan, feminin
di sini tidak ada hubungannya dengan gender, tetapi unsur kemanusiaan itu
sendiri.
Masalah utama manusia modern bukan lagi kebodohan mengenai hukum
alam, tetapi nafsu serakah itu. Nafsu telah membutakan mata dan menulikan
hatinya terhadap peringatan para ilmuwan tentang bahaya pemanasan global dan
perubahan iklim. Nafsu membuat para pengusaha tak segan-segan membakar hutan
dan lahan gambut di musim kemarau yang menimbulkan asap pekat yang berbahaya
bagi kesehatan dan mengganggu transportasi. “Andai anak Adam diberikan satu
gunung dari emas, niscaya ia menginkannya lagi, dan lagi, sampai mulutnya
disumpal tanah,” kata Nabi. Inilah keserakahan itu. Apalagi, kesejahteraan manusia
saat ini seringkali diukur dengan seberapa tinggi tingkat konsumsi. Katanya,
roda ekonomi akan berputar jika konsumsi tinggi, yang akan memicu produksi dan
distribusi. Padahal, peningkatan konsumsi juga bisa berarti keserakahan dan
mubazir, membuang-buang. Orang sudah tidak bisa membedakan mana kebutuhan, mana
keinginan. Rasa syukur atas nikmat yang ada begitu mudah lenyap dikalahkan oleh
nafsu memiliki sesuatu yang baru, yang tak pernah habis.
Dengan demikian, musuh utama kita adalah nafsu yang ada di dalam diri
kita. Seyogyanya kita harus mengevaluasi lalu memperbaiki diri kita terlebih dahulu
sebelum membenahi kerusakan alam. Sedangkan keinginan nafsu yang nyaris tanpa batas
itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, adalah gejala diri kita yang sejati, yang selalu
rindu pada yang tak terbatas. Agar gejolak ini dapat terkendali, maka manusia harus
berusaha mendekatkan diri dan memasrahkan diri kepada-Nya yang tak terbatas.
Komentar
Posting Komentar